Jumat, 23 November 2007

Sekilas tentang media audio visual

Untuk memahami yang satu ini kita perlu tahu sedikit perkembangannya. Diawali dengan film bisu di era 1900an awal, pada waktu itu ekspresi dan gesture pemain menjadi bagian pokok yang sangat penting untuk mengungkapkan ekspresi karena belum adanya alat perekam suara. Film masa itu cenderung teaterikal karena belum adanya kesadaran memadai dari filmmaker terhadap kekuatan audio visual, serta belum terbiasanya penonton melihat film. Penonton pada saat itu masih terbiasa melihat opera di panggung maupun teater, sehingga bloking pemain film yang diciptakan biasanya masih mengacu pada bloking teater. Selain itu ilustrasi musik masih menggunakan live show, jadi pada saat film itu diputar, seorang pemain piano atau beberapa musisi akan bermmain alat musik sembari melihat film tersebut. Film Indonesia yang pertama kali dibuat adalah LOETOENG KASAROENG (1926).

Demikianlah dan seterusnya sampai film memasuki era teknologi saat ini. Seolah-olah tak ada lagi yang tak mungkin dibuat oleh seorang filmmaker. Mulai dari Star Warsnya George Lucas sampai era LOTRnya Peter Jackson. Imajinasi seorang pembuat film saat ini tak akan dibatasi lagi oleh teknologi. Penciptaan bloking dan gesture pemain terasa lebih bebas karena saat ini tak ada lagi peraturan baku dalam pembuatan film. Kita mengenal jenis film independen, dimana ide dan biaya merupakan tanggung jawab filmmaker dan tak ada batasan segmentasi pasar.

Televisi, sebuah sarana penyampaian pesan yang saat ini menjadi primadona masyarakat umum. Di rumah-rumah, televisi telah menjadi Second God. Remote berfungsi menjadi sarana pembunuhan bagi stasiun televisi. Ketika seseorang tak mau untuk melihat sebuah stasiun TV dia hanya tinggal pencet, dan matilah stasiun TV itu karena ditinggalkan salah satu penontonnya. Bayangkan apabila itu dilakukan oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan penonton di Indonesia. Berapa pendapatan stasiun TV itu yang hilang?

Media audio visual juga memiliki keterbatasan. Yang pertama dan paling dasar adalah televisi maupun film hanya 2 dimensi, yaitu panjang dan lebar. Disinilah fungsi estetika dan teknis seorang filmmaker dituntut untuk berfungsi maksimal agar dapat menciptakan kesan 3 dimensi pada media ini. Mulai dari seorang Director of Photography, Lighting, penciptaan bloking, art, biasanya akan berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan kesan 3 dimensi tersebut, baik menggunakan teknik perspektif, kedalaman dan sebagainya. Keterbatasan kedua adalah image. Sebuah film yang diangkat dari novel yang terkenal dan telah mengena di hati pembacanya akan mempunyai tugas sangat berat untuk menciptakan image film seperti yang dibayangkan oleh seorang pembaca novel. Pada buku novel kita mempunyai imajinasi yang sangat bebas dalam menciptakan wajah, anatomi, environment seorang tokoh. Mungkin sosok Harry Potternya JK Rowlings, antara bayangan anda dan saya akan berbeda. Suasana sekolah sihir anda dan saya juga berbeda. Ada salah satu contoh lagi; waktu saya masih SD di medio thn 80an, ada sebuah drama radio yang sangat terkenal, hampir semua radio di Yogya ini pasti menyiarkannya, judulnya adalah SAUR SEPUH dengan tokoh utama bernama Brahma Kumbara. Saat saya mendengarkan drama itu dan terjadi adegan peperangan, secara reflek saya menciptakan adegan itu dalam kepala saya. Begitu terkenalnya drama radio tersebut, sehingga sponsor cerita tersebut, sebuah pabrik obat PT KALBE FARMA memutuskan untuk membuat film layar lebarnya. Namun apa yang terjadi ketika saya menonton film tersebut? Saya kecewa, karena sosok Brahma Kumbara dan suasana kerajaannya tak sesuai seperti yang saya bayangkan waktu mendengarkan drama radionya, sekuel film itu tak selaris film pertama. Namun berbeda halnya dan jamannya ketika Harry Potter diangkat ke layar lebar, proses penciptaan image Harry Potter dan suasananya mungkin sangat mendekati imajinasi penonton sehingga sekuelnya pun tetap laris manis. Keberhasilan tersebut tentunya tak lepas dari peran teknologi walaupun membutuhkan dana yang tak sedikit. Rumor yang beredar, untuk membuat film sekelas Harry Potter dibutuhkan dana yang sama besarnya dengan APBN Indonesia selama 1 tahun.
by : Triyanto 'Genthong'

Tidak ada komentar: