Senin, 26 November 2007

DIMANA KITA BERPIJAK?ITU SEBUAH PILIHAN....

Sebuah obrolan kecil dengan Agung Sentausa

Minggu siang, 25 Nop…sama dengan siang hari sebelumnya, kota Jogja diselimuti panas yang menyengat. Saat itu saya sedang bermain dengan anak-anak di rumah…Kemudian sebuah sms masuk, dan ternyata dari Agung Sentausa, seorang teman dan sutradara yang sudah saya kenal sejak tahun 2000 saat saya masih bekerja di Studio Audio Visual Puskat. Ternyata Agung sedang berada di Jogja. Saat itu pula saya membuat janjian dengan dia untuk bertemu di Warung Lik Min, selatan SMKI Bugisan di bilangan Jogja Selatan.

Malam menjelang….saya bersama 3 orang teman, Arief Sinchan, Aphuy, dan Andri Mini berangkat ke sebuah wisma di daerah Suryodiningratan. Sejenak kemudian kami meluncur ke Warung Lik Min yang terkenal karena sering ditongkrongin ama seniman2, terutama yang berdomisili di Jogja Selatan….

Singkat cerita :

Kiri atau kanan…?

Itu adalah secuplik kalimat yang Agung lontarkan ketika menjawab kebingungan kami ketika menentukan dan harus memilih apakah kami bergerak di film mainstream atau underground….

Kita harus sadar dan pasti suatu saat akan dipaksa untuk memilih diantara dua jalur itu. Tentu saja setiap pilihan mengandung konsekuensinya masing2 :

  1. Mainstream

  1. Penonton adalah patokan utama pada saat kita memilih untuk memproduksi sebuah film. Penonton di dunia ini terdiri dari mayoritas ABG perempuan yang mempunyai trend yang berkembang setiap saat. Idiom2 yang sudah pakem dan telah tertancap di pikiran dan perasaan penonton akan sangat sulit dirubah, misal:ungkapan sayang dilakukan dengan membelai, mencium…dan sebagainya. Tidak mungkin kita akan mengubah ekspresi sayang dengan tamparan atau makian.Ini yang pertama harus dipahami.

Dan penonton film bioskop di Indonesia tidaklah banyak, hanya sekitar 1,5 sampai 2 juta. Sincan kemudian menimpali : Berarti kita mending muter film kita di televisi? Karena pasti ditonton orang yang lebih banyak?

Ternyata tidak, televisi adalah sebuah media yang hanya akan memperkenalkan kita dengan masyarakat. Untuk sebuah bisnis yang berhasil, film bioskop menjanjikan banyak hal lebih dibanding televisi

  1. Investor film bukan masjid atau gereja…..

Ini adalah sebuah pernyataan yang menarik. Setiap kali kita berhadapan dengan investor, pastilah hal yang pertama kali ditanyakan adalah tentang waktu pengembalian modal, berapa keuntungan yang bisa dihasilkan? Tidak mungkin investor akan melepas koceknya secara cuma2 seperti yang dilakukan masjid dan gereja ketika memberikan sumbangan kepada orang2 yang membutuhkan.

  1. Kompromi dengan diri sendiri

Hal ini biasanya paling sulit dilakukan, apalagi oleh teman2 yang pernah bergerak di jalur underground/independen. Memandang script/skenario dari kacamata penonton dan bukan dari pembuat tidaklah mudah. Mengikuti trend dan keinginan penontonpun demikian halnya.

  1. Under ground/independen

  1. Segmentasi penonton terbatas, biasanya kalangan komunitas film, pembuat film, pecinta karya sastra atau kelompok2 lainnya.

  2. Film bisa diperlakukan sebagai sarana ekspresi kegelisahan maupun sikap, namun juga bisa sebagai sarana sharing tentang suatu hal.

  3. Siap mengikuti tema maupun selera festival2 film yang berubah dalam kurun waktu tertentu.

Setelah selesai memaparkan beberapa hal di atas, saya agak tergelitik dengan pertanyaan yang muncul di benak saya, apakah ada seorang filmmaker indie yang bisa mendulang rejeki dari filmnya…?

Agung terdiam sejenak…..kemudian dia menjawab…TIDAK. Tidak kalo dari film indie. Namun terkadang ada filmmaker yang mempunyai usaha sampingan ataupun bergerak di industri dengan format yang berbeda, misal videoklip,iklan, dsb.

Ternyata film itu juga penuh dengan pilihan2 ya…?huuuuffff.

Saran terakhir dari Agung : Apapun yang kita pilih, hal terpenting adalah kita siap dengan konsekuensi2nya. Dan tidak ada yang salah dengan pilihan itu asal kita tidak melakukannya dengan setengah hati. SELAMAT MEMILIH……


By : Triyanto “Genthong”

Thanks to : Agung Sentausa


Tidak ada komentar: