Rabu, 02 Januari 2008

Met Taon Baru

Buat temen2...met taon baru ya.....mudah2an di tahun baru ni tambah sukses semua...Maaf banget kita belum bisa hadirkan tulisan2 baru lagi dikarenakan sedang ada pembenahan internal....

salam....

Kamis, 06 Desember 2007

FILM INDIE : ANTARA RUANG DAN UANG

Kali ini tak perlu memperdebatkan lagi apa itu film indie. Setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri. Relatif atau subyektif? Gak tau deh. Mungkin kamu lebih tau. Yang mungkin agak genit kata-kata antara ruang dan uang. Sama-sama dibutuhkan. Sama-sama menggoda. Dan percaya atau nggak kadang bagi para pembuat film indie mereka gak punya dua-duanya. Kita gak perlu terlalu jauh untuk ngomong soal perfilman indie tanah air atau bahkan Perfilman nasional, cukup di Jogja aja. Dahulu orang bilang kalo Jogja adalah Indonesia kecil. Ya…dahulu. Kini Jogja mungkin gak lebih dari sebuah replika kecil kota Jakarta. Makin hari makin semrawut. Makin macet. Lepas dari dari Jakarta adalah sentralisasi industri dan pemerintahan. Jogja juga dikenal sebagai kota budaya. Mmm…itu mungkin juga dahulu ya.

Kembali ke laptop, dalam setahun produksi film indie di Jogja tidak bisa dibilang sedikit. Meski ampe detik ini belum nemu data pastinya, tapi berdasarkan gosip dan cerita teman-teman komunitas film indie di Jogja, rata-rata tiap kelompok memproduksi hingga dua film tiap tahunnya. Kalau sekarang di Jogja ada kurang lebih lima puluhan komunitas, berati dalam setahun kota ini memiliki seratus judul film. Cukup banyak bukan? Yang jadi pertanyaan selanjutnya, kemanakah film-film itu? Dikirim ke festival-festival film? Hanya diputar di kampus atau komunitasnya sendiri? Belum di edit karena gak punya dana lagi? Atau hanya mangkrak di rak-rak kayu kamar dan terselip diantara beberapa buku-buku ciklit? Meski belum ada penelitian ke arah sana, yang jelas udah jadi rahasia umum kalo film-film itu gak lebih dari alat pemuas masturbasi. Ups, gak bermaksud menyinggung dan sok pinter, tapi kenyataannya seperti itu. Namun beberapa diantaranya cukup sukses dan ikut mengharumkan nama kota ini. Komunitas Four Color (gak tau sekarang masih bisa di bilang komunitas atau sudah menjadi sebuah rumah produksi besar) terbilang salah satu yang pertama mendobrak stigma ini. Memberikan warna tersendiri bagi perfilman Jogja, bahkan tanah air. Sebagai hasil dari kerja kerasnya, mereka diganjar piala FFI tahun 2006 lewat film “Harap Tenang Ada Ujian” besutan sutradara Ifa Isfansah. Masih ada beberapa nama lagi yang ikut andil dalam memajukan perkembangan film di Jogja. Tapi gak banyak. Sedikit menyentil lagi kemanakah film-film yang lainnya?

Balik lagi ke judul tulisan ini, antara ruang dan uang. Sebuah masalah klise yang mungkin gak akan pernah ada ujungnya jika tidak ada yang mau peduli. Banyak dari para pembuat film indie mengeluhkan soal ruang. Dalam hal ini yang utama adalah soal ruang pemutaran, disamping banyak ruang yang mereka tuntut, seperti ruang media apresiasi dan ruang untuk berkumpul untuk saling berbagi cerita dan pengalaman bagi sesama pembuat dan penikmat. Berapa banyak sih ruang pemutaran untuk film indie? Sedikit sekali kalau mau tidak dibilang sebenarnya tidak ada. Karena memang tidak satu ruang khusus yang disediakan untuk memutar film-film indie ini oleh pemerintah. Dalam hal ini dewan kebudayaan lebih bertanggung jawab. Bukan berarti menyalahkan pemerintah lagi, tapi bukannya sudah menjadi kewajiban mereka merespon setiap aspirasi masyarakat. Apalagi ini sangat positif. Katanya Jogja diklaim sebagai kota budaya.
Ada dua ruang publik yang mungkin cukup dikenal, yaitu benteng Vredeburg dan Taman Budaya Yogyakarta. Tapi apakah memadai untuk dipakai ruang pemutan film? Taman Budaya mungkin iya. Namun apakah kocek teman-teman pembuat film indie memadai untuk diputar disana? Dengar-dengar sih mereka mempunyai program untuk memutar film-film indie, namun ya itu, statusnya masih terdengar.
Kemunculan kantung-kantung film lainnya ikut meramaikan suasana. Sebut saja Kinoki, dengan slogannya bukan bioskop bukan kafe. Terus apa dong? Kinoki di kenal cukup intens memutar film-film non mainstream dan film indie. Tempat ini kadang jadi tempat mangkalnya beberapa komunitas yang mengklaim dirinya sebagi sineas muda. Cukup banyak sineas muda dan karya yang muncul dari tempat ini. Namun balik lagi ke soal memadai. Apakah Kinoki sudah memadai sebagai tempat pemutaran film indie? Mengingat kalau boleh dibilang sebenarnya tempatnya open air, walhasil banyak suara bising yang sangat mengganggu ketika menonton film di sana. Mulai dari suara kendaraan, karena dekat dengan jalan utama, ataupun suara dari musik bercampur suara “mengengkrik” pelanggan dari kafe disebelahnya. Apalagi kalo hujan. Bukannya kalau nonton film kita harus berkonsentrasi dengan gambar dan suara yang dihasilkan? Terus kalo nonton film indie yang enak dimana dong? Mungkin di Lembaga Indonesia Perancis (LIP). Karena tempatnya lumayan memadai dari beberapa tempat yang disebutkan diatas. Baik secara kualitas maupun secara pendanaan. Tempatnya lebih layak dan lebih murah sewanya. Bahkan katanya bisa gratis. Tiba-tiba ada pertanyaan di kepala saya, kenapa pihak luar lebih respek dengan hal ini dibandingkan pihak kita sendiri? Saya gak menyinggung soal pemerintah lho. Tapi pihak kita. Dari beberapa kasus diatas, banyak para pembuat film akhirnya melarikan filmnya ke kampus-kampus. Meski bisa dikatakan belum/tidak layak, paling gak soal dana masih bisa kongkalikonglah dengan pihak universitas.

Para pembuat film indie juga sangat kesulitan di soal uang. Yah klasik. Saya pernah baca di sebuah buku bahwa sangat bodoh sekali bila kita kesulitan produksi film hanya karena uang. Itu menurut si penulis buku itu. Bagi saya mungkin lebih bodoh lagi kalau kita produksi film gak mikir uangnya darimana. Biaya produksinya mau dibayar pake daun?
Ada banyak cara bagi para pembuat film indie untuk menyiasatinya, seperti kolekan uang tiap orang yang terlibat, gadai motor (kata anak nongkrong MTV : gw banget!) bahkan harus “ngemis” kebeberapa donatur. Tapi apa masih cukup untuk biaya produksi? Tergantung. Yup, tergantung mau produksi film apa. Kalau film action, mungkin lebih besar. Tapi nyatanya film saya yang bergenre drama, hanya satu setting dan hanya ada dua pemain menghabiskan dana kurang lebih dua belas juta. Dan sampai sekarang masih harus menyicil utang. Bisa jadi itu karena alat yang pakai sangat banyak dan jumlah crew yang mencapai tiga puluh orang. Kata teman saya itu jumlah uang yang sangat banyak sekali untuk produksi film indie di Jogja. Tapi kalau teman yang ada di Jakarta bilang, itu adalah hal yang hebat, karena biaya produksinya murah sekali. Nah lo??!!!

Mulut ini terlalu cerewet atau otak ini yang emang suka usil, yang jelas ada satu pertanyaan yang mengganjal. Apakah pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini yang harusnya ikut bertanggung jawab (saya gak nyebut pemerintah lho) diam saja. Maksudnya, apakah tidak ada dana bantuan, hibah, pinjaman lunak atau beasiswa bagi para pembuat film? Setidaknya buat nyewa kamera yang standar aja. Mungkin tidak ada. Saya pernah ngobrol dengan seseorang yang cukup dikenal dikalangan seniman dan pemerintahan, apakah pihak yang terkait/yang bertanggung jawab, yang biasa dikenal dengan dewan kebudayaan punya dana untuk itu? Jawabnya tidak. Mungkin karena dananya sudah habis, atau mungkin untuk menumbuhkan semangat kemandirian para pembuat film indie atau bahkan mereka sebenarnya memang gak pernah kepikiran untuk hal ini? Mungkin. Bagi mereka mungkin gak ada untungnya membiayai atau memfasilitasi para pembuat film. Toh kota ini dibangun bukan cuma untuk bikin film aja kan. Ya sedih sekali dong. Mereka mungkin lupa bahwa sebuah film mampu merefleksikan budaya suatu negara. Kalo kata buku-buku, film bisa menjadi benteng budaya negara dari arus budaya-budaya asing. Atau percaya gak sih kalo film bisa menjadi salah satu pencegah kerusakan alam, ikut andil dalam global warming?

Kadang masalah uang inilah yang ikut menjadikan film-film indie Jogja tidak berkembang atau kalo boleh dibilang tidak punya standar sinematografi. Gimana mau menghasilkan gambar bagus, kalo gak bisa sewa kamera dan lampu yang standar. Atau mau suara yang dihasilkan jernih tapi gak punya uang untuk nyewa boom mic dan mixer audio. Sama aja boong dong. Yah..sebenarnya bisa sih, tapi ya gak maksimal. Terus kapan dong bisa bikin film yang maksimal? Yang ada sih semaksimal yang bisa kita lakukan dengan alat yang ada. Bukan sesuai dengan standard operational procedure. Kalo gak percaya buktikan aja, kita sih udah. Hal ini yang kadang bikin film-film indie terkesan asal-asalan. Atau karena stigma yang ada kalo film indie ya film yang asal jadi, yang penting ada kamera, angle shotnya aneh-aneh dan ceritanya nyeleneh? karena paling banter juga ditonton ma temen-temen sendiri. Kalo maunya seperti itu ya siap-siap aja beli sabun yang banyak.

Kata ruang dan uang mungkin dibedakan dari konsonan huruf “R”. Dua kata ini punya arti yang sangat berbeda tapi saling berhubungan. Ada ruang berati harus ada uang. Ada uang pasti butuh ruang. Huruf “R” juga bisa bermakna restricted (terbatas). Biasanya tanda ini berada dalam film-film yang banyak mengumbar adegan sadis dan vulgar, baik visual, bahasa maupun isi. Biasanya sih ada di film asing karena film Indonesia jarang sekali/hampir tidak ada yang mencantumkan tanda batasan ini. Dalam kaitannya dengan judul “Antara Ruang dan Uang” maksudnya huruf “R” bisa berarti film indie itu sangat “terbatas”. Bisa jadi penontonnya yang terbatas, karena biasanya hanya di tonton oleh para pembuat film, kritikus, penikmat film non mainstrem dan beberapa orang cukup militan di bidang seni. Bukan masyarakat umum. Bisa juga makna “terbatas” itu terbatas karena masalah dana untuk produksi. Karena umumnya film indie di Jogja dibikin dengan dana yang seminim mungkin. Atau bisa juga harusnya film indie itu memang diberi tanda “R”, karena tidak pernah ada sensor di film itu.

Yang jelas film indie terus bermunculan di kota ini, lepas dari berbagai persoalan yang ada. Semoga film indie di Jogja terus maju dan mulai menghilangkan stigma sebagai film yang “terbatasi”. Terbatasi karena karena ruang, terbatasi karena uang. Ada bahkan terbatasi dari segmentasi penonton, karena film indie hanya di cap sebagai film ecek-ecek. Dan bagi saya sendiri film indie adalah masalah “sikap”. Saya rela ketika film saya di cap sebagai film kelas divisi dua. Justru ini tantangannya. Bagaimana caranya harus bisa membawa film saya masuk ke divisi utama. Ini cuma masalah memilih dan menunggu*
( * diambil dari potongan film DIALOG )

Salut untuk semua pembuat film di tanah air.
Tidak bermaksud menjadi nabi-nabian dan dengan segala hormat,
Ariep Sinchan

Jumat, 30 November 2007

Motif & garis

Layar televisi modern terdiri atas dot/titik2 yang kemudian membentuk garis vertikal dan horisontal yang akhirnya kita kenal dengan resolusi. Dari teknik dasar ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa televisi adalah kumpulan garis dengan berbagai macam ukurannya.
So, ketika kita mencoba untuk create sesuatu di dalamnya maka kita harus paham betul dengan karakter media kita. Seperti saat kita melukis, kita harus tahu ketebalan kanvas, jenis bahan pembuat kanvasnya, dsb. Nah disinilah tantangan sebenarnya, ketika mata kita hanya dihadapkan pada garis resolusi, sementara mata kita secara alamiah tidak menyukai garis dan sudut karena tubuh kita sendiri tidak mempunyai sudut. Garis dan sudut biasanya akan mengesankan sesuatu yang keras, tajam.
Berikut ini ada beberapa gambar yang akan memperlihatkan bagaimana seorang sineas mencoba mencari keseimbangan antara garis dan motif lengkung untuk menjaga agar mata penonton tidak terlalu lelah menikmati film mereka :


Coba kita simak shot pantai di atas….Garis horisontal cakrawala dibuat sedemikian rupa sehingga benar2 lurus dengan batas frame bagian atas. Saat garis ini tidak lurus maka mata penonton akan mengalami distorsi dan akan mengurangi kenyamanan mereka.

Coba kita lihat gambar berikut :


Motif lengkung yang terdapat di lantai diseimbangkan oleh bentuk garis yang dihasilkan oleh bayangan kursi. Motif garis ini dibuat sebagai penguatan terhadap scene ini secara dramatiknya.
So, saat kita mencoba berkreasi sebagai seorang sineas, kita harus bisa membuat balancing yang nyaman di mata penonton dan melakukan stressing2 tertentu dalam sebuah shot yang tentunya diharapkan bisa membantu tangga dramatik sebuah alur cerita, dan bukan malah merusaknya.

Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa hampir semua elemen setting yang ada terdiri atas garis vertikal dan horisontal yang tegas, mulai dari kursi, meja, tembok, lantai. Namun bagi saya, masih cukup nyaman untuk melihat komposisi ini. Why? Coba lihat meja dengan bentuk melengkung yang panjang di sebelah kanan. Elemen ini bisa membalance mata kita dari garis2 yang bersliweran di frame ini. Sementara itu dengan komposisi dan framing yang tepat gambar ini menghasilkan perspektif yang bagus.
By Triyanto ‘Genthong’

Prolog


INTRO


Kalo tidak salah sekitar bulan Februari 2007, mas Arief Sinchan mampir ke kantor Axis di Nologaten. Setelah ngobrol ngalor ngidul sejenak akhirnya Sinchan mengungkapkan apa yang menjadi maksud kedatangannya, yaitu ingin meminta bantuan saya untuk menjadi penata videografi dalam film yang naskahnya dia tulis sendiri. Dia menyebut sebuah judul, DIALOG. Kemudian dia mengungkapkan konsep filmnya, yaitu dua pemain, satu setting dan mereka hanya berdialog satu sama lain, dalam rentang waktu kurang lebih sama dengan filmnya, sekitar 30 menitan. Kalo Sinchan waktu itu memperhatikan secara detail ekspresi saya maka dia akan menemukan keterkejutan yang lumayan dahsyat dari reaksi saya…..Saya berpikir…..hmmm, ini tantangan cukup berat. Akhirnya setelah saya membaca naskah dan mempertimbangkan semuanya, saya menerima ajakan Sinchan. Maka dimulailah proses film DIALOG.



by Triyanto 'Genthong'

Departemen Videografi


the cover


Selasa, 27 November 2007

Senin, 26 November 2007

POINT OF INTEREST

Kita pembuat maupun penikmat film hanya mempunyai dua mata yang tidak akan bisa berkonsentrasi memperhatikan visual dalam foto atau film secara bersamaan. Saat kita sebagai kreator, kita juga harus mau dan mampu mewakili mata penonton sehingga kita sebagai pembuat film akan membuat penonton menjadi “nyaman”. Salah satu dari banyak hal yang harus kita perhatikan agar penonton “nyaman” adalah point of interest gambar. Titik sebelah mana dari layar itu yang harus diperhatikan oleh penonton. Hal-hal ini dipengaruhi beberapa elemen :
  1. Karakter Tokoh

  2. Pencahayaan

  3. Kamera

  4. Pengadeganan

  5. Sound

Salah satu aturan lama yang saat ini masih menjadi acuan adalah Potongan Kencana. Coba kita perhatikan gambar berikut :

Lingkaran merah adalah titik point of interest mata terhadap obyek yang terekam oleh kamera. Coba kita perhatikan beberapa gambar dari film Malena yang mencoba menggunakan aturan lama ini sebagai acuan dalam penataan kamera :

Ketika Malena diletakkan sedikit ke tengah dan ada background kaki2 dengan pakaian hitam otomatis mata kita akan tertarik mengikuti 2 elemen utama ini yang mempunyai simbol kesedihan, diinjak, tertekan, depress. Nah setelah itu mata kita akan mulai ditarik ke elemen2 pendukungnya, potongan rambut, dompet yang mempunyai makna simbolis tertentu….

Coba kita bayangkan ketika rok2 yang dikenakan berwarna-warni…apa yang terjadi? Yang jelas mata kita justru akan tertarik ke rok2 itu dibanding ke elemen utama yaitu Malena. Bahkan ketika dompet itu diganti berwarna kuning pasti mata kita akan tertarik ke sana.

Coba kita tengok lagi gambar yang sama dengan warna yang sedikit berbeda :

Maaf saya tidak bisa menggambar…jadi ngasih warnanya asal2an.hehehe. Tapi yang penting adalah coba kita konsentrasi lagi, apakah mata kita masih terarah pada Malena?atau justru mata kita terganggu dengan warna-warna cerah itu? Jadi kehadiran warna menjadi elemen penting dalam membuat point of interest.

Kita simak lagi gambar berikut

Malena menjadi pusat perhatian karena di bantu oleh beberapa hal :

  1. Ruang tajam

Foreground & background nampak out focus sehingga mata kita tidak terlalu terganggu dengan kehadiran sosok2 itu

  1. Lighting

Dengan gradasi laighting yang tepat, walaupun Malena menggunakan baju warna hitam dia tetap bisa menjadi pusat perhatian karena pencahayaan yang cukup kuat diarahkan padanya.

Dan sekali lagi, Malena diletakkan di potongan kencana yang tepat.

Coba kita lihat lagi gambar berikut ini :

Nah kalo yang ini malah justru kebalikannya. Mata kita akan terbawa ke anak itu, tas dan sepedanya karena tiga obyek ini justru paling gelap di antara yang lain.

Yah demikian tadi sedikit pandangan subyektif saya tentang point of interest. Tidak semua yang saya tulis disini benar adanya. Namun mudah2an bisa memberikan sudut pandang baru untuk teman2.


By Triyanto “Genthong”

CERMIN

Sesaat tak ada kata yang bisa terucap

Mulut ini hanya bisa berkata

Aku bangsat….!


Tak ada satupun kalimat terurai

Lidah ini hanya bisa berkata

Aku anjing…..!


Tak ada diplomasi yang bisa ku bilang

Bibir ini hanya bisa berkata

Aku bodoh…..!


Hai…lihat tengkukmu sendiri

Sebelum menampar tengkuk yang lain

Aku adalah budak bualan di malam hari


Cermin….

Aku minta maaf….



By Triyanto “Genthong”

Bumbu Penyedap Dalam Masakan Film Amerika

Minggu lalu, setelah disibukkan nyawer kesana-kesini, ahirnya badan ini bernafas sebentar. Ambil sebungkus LA menthol dan segelas air putih, langsung masuk ke kamar yang biasa buat nongkrong orang-orang kalo maen ke axis. Ada tv, kasur yang cukup luas dan beberapa tumpukan film dvd. Sebenernya asal mula tumpukan-tumpukan berasal dari ulah budi, art director film Dialog. Harusnya itu adalah properti shoting kemaren yang kudu di balikin ke kamarku. Ahirnya udah kaya kapal tengker yang nongrong di salah satu kota di Nangroe Aceh. Bukannya mubazir atau jadi sampah, malah tumpukan-tumpukan ini jadi semacam perpustakaan kecil buat temen-temen yang hobi nonton film.

Balik lagi ke soal kamar tadi. Setelah pewe ( bukan pengen wedoan) ahirnya film The Last Samurai yang jadi pilihan kali ini. Meski da nonton, tapi ada rasa kangen liat Ken Watanabe setelah sebelumnya aku nonton Letter From Iwo Jima. Film besutan edward Zwick yang menceritakan Captain Nathan Algren ( Tom Cruise), mantan pasukan kaveleri yang ikut membumi hanguskan suatu camp suku indian. Ia trauma melihat tiap penderitaan anak-anak dan wanita indian yang di bantai secara mebabi buta. Captain Algren ahirnya memutuskan untuk hengkang dari kesatuannya. Namun saat dirinya menjadi pecundang yang hanya di tanggap di arena-arena pasar malam, sang komanadan datang lagi dengan tawaran yang menggiurkan. Gayung bersambut. Ia menerima pekerjaan menjadi pelatih pasukan kerajaan Jepang untuk melawan pemberontak yang di pimpin Katsumoto (Ken watanabe). Para samurai. Cerita pun berjalan dari proses pelatihan pasukan yang menurut Algren kayaknya bakal makan waktu lama sampai ahirnya pertempuran pasukan yang dipimpin Algren melawan para samurai dari Katsumoto. Pasukan Algren kalah, ia berhasil ditangkap meski melewati pertempuran yang dibuat heroik oleh sang sutradara. Katsumoto merasa kagum dengan semangat bertempur Algren. Dan kemudian membawa Algren ke desanya.

Nah…inilah yang jadi surprise bagiku. Algren merasa kalo ia hanya jadi sandera disana. Tapi Katsumoto justru ingin memanfaatkan Algren untuk kesenangan pribadinya. Meski di awal film diceritakan kalo ia punya firasat bakal ketemu dengan sosok singa putih, yang ahirnya ia percayai kalo itu adalah sosok Algen. Tapi taktik tetaplah taktik. Cukup simpel, Katsumoto hanya ingin mengenal sosok orang barat. Ia belajar bahasa inggris.. dan untuk mencari sparing parthner yang memadai maka di pilihlah Algren. Ditengah film ini kita bener-bener bisa melihat sosok bangsa Jepang yang utuh. Mulai dari kehidupan sosial mereka, arsitektur rumah, budaya hingga sifat-sifat mendasar orang jepang. HARGA DIRI. Mereka akan melakukan apapun untuk harga dirinya. Secara teknis sinematografi, Edward Swick terlihat merancang pendekatan film jepang dengan baik. Mulai shot, bloking, pencahayaan, scoring hingga artistik Ada komposisi ruang-ruang yang tampak kosong.. Khas Jepang banget. Dan sebenernya yang lebih terasa disini adalah spirit orang Jepang itu sendiri. Semangat yang tak pernah padam. Namun disisi lain kita bisa melihat perasaan tidak berharganya mereka ketika di cap tidak bisa melakukan apa-apa untuk negara. Dicap penghianat negara. Satu-satunya cara untuk menebusnya adalah dengan bunuh diri. Lebih terhormat. Apalagi untuk kaun Samurai.

Film terus berjalan hingga ending. Dan satu yang paling mengganjal disini adalah tiba-tiba film kembali seperti diawalnya. AMERIKANISASI. Seburuk-buruknya tingkah orang amerika di film pasti ada satu tokoh yang akan jadi hero di film itu juga. Tokoh yang akan menjadi yang paling baik dan paling meninggalkan kesan tersendiri. Tentunya tokoh itu berasal dari amerika juga. Ya si Captain Algren itu. Dalam pertempuran terahir yang diceritakan ia berbalik membela Katsumoto untuk melawan pasukan kaisar. Semua pasukan dari pihak Samurai tewas semua. Bahkan Katsumoto. Yang tersisa adalah Captain Algren. Amazing. Plot yang hampir sama ketika Sandjay Dut tetap hidup setelah tersiksa bahkan tertembak oleh musuhnya di salah film India yang kerap muncul di layar kaca. Semula aku begitu terhibur dengan nuansa Jepang yang muncul, kontan detik itu juga langsung berteriak. Hidup amerika. Hidup hollywood. Captain Algren ahirnya dibuat menjadi sosok hero. Dengan apa yang telah ia lakukan membuat kaisar jadi tersadar. Dan mulai mereformasi pemerintahannya. Ia menjadi sosok pahlawan dari kedua pihak yang bertikai. Ia begitu di terima di orang-orang amerika.
Di Jepang ia menjadi pahlawan para Samurai. Cukup menyentil memang bahwa bangsa Jepang tidak bisa bangkit tanpa bantuan negara adidaya itu. Seperti negara kita dan puluhan negara miskin lainnya. Apapun yang dilakukan amerika akan terlihat seperti pahlawan. Amerika yang memulai dan amerika yang mengahiri dengan manis. Shot-shot bendera amerika di film ini juga tampak begitu elegan. Cerita tentang Jepang hanyalah bumbu penyedap dari sebuah masakan film amerika. Secara gak langsung film The Last Samurai membuat suatu statement bahwa semangat samurai tidak hanya dimiliki bangsa Jepang. Seorang amerika jauh lebih berani di bandingkan dengan sekumpulan samurai-samurai dari desa. Seorang amerika tetap akan diterima dimanapun meski ia telah membunuh keluarga terdekat orang lain. Selalu ada pe-maaf-an untuk seorang amerika.

Yah mungkin sama seperti film Flags For Our Fathers dan Letter From Iwo Jima. Jepang tetap menjadi bumbu penyedap.

Tulisan ini gak bermaksud sebagai indikasi pembencian terhadap amerika ataupun pendeskreditan terhadap sikap Jepang. Hanya sebuah opini bukan sebagai kritikan. Paling nggak film-film amerika tetap memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negaranya. Hampir semua shot yang menggambarkan bendera amerika selalu terlihat elegan. Hal yang hampir tidak terlihat di film-film Indonesia. Jangan buruk sangka dulu. Mungkin kita yang gak pernah bangga dengan negara ini? Atau mungkin negara ini yang gak pernah membuat kita bangga?


Dengan segala hormat…


Sinchan

DIMANA KITA BERPIJAK?ITU SEBUAH PILIHAN....

Sebuah obrolan kecil dengan Agung Sentausa

Minggu siang, 25 Nop…sama dengan siang hari sebelumnya, kota Jogja diselimuti panas yang menyengat. Saat itu saya sedang bermain dengan anak-anak di rumah…Kemudian sebuah sms masuk, dan ternyata dari Agung Sentausa, seorang teman dan sutradara yang sudah saya kenal sejak tahun 2000 saat saya masih bekerja di Studio Audio Visual Puskat. Ternyata Agung sedang berada di Jogja. Saat itu pula saya membuat janjian dengan dia untuk bertemu di Warung Lik Min, selatan SMKI Bugisan di bilangan Jogja Selatan.

Malam menjelang….saya bersama 3 orang teman, Arief Sinchan, Aphuy, dan Andri Mini berangkat ke sebuah wisma di daerah Suryodiningratan. Sejenak kemudian kami meluncur ke Warung Lik Min yang terkenal karena sering ditongkrongin ama seniman2, terutama yang berdomisili di Jogja Selatan….

Singkat cerita :

Kiri atau kanan…?

Itu adalah secuplik kalimat yang Agung lontarkan ketika menjawab kebingungan kami ketika menentukan dan harus memilih apakah kami bergerak di film mainstream atau underground….

Kita harus sadar dan pasti suatu saat akan dipaksa untuk memilih diantara dua jalur itu. Tentu saja setiap pilihan mengandung konsekuensinya masing2 :

  1. Mainstream

  1. Penonton adalah patokan utama pada saat kita memilih untuk memproduksi sebuah film. Penonton di dunia ini terdiri dari mayoritas ABG perempuan yang mempunyai trend yang berkembang setiap saat. Idiom2 yang sudah pakem dan telah tertancap di pikiran dan perasaan penonton akan sangat sulit dirubah, misal:ungkapan sayang dilakukan dengan membelai, mencium…dan sebagainya. Tidak mungkin kita akan mengubah ekspresi sayang dengan tamparan atau makian.Ini yang pertama harus dipahami.

Dan penonton film bioskop di Indonesia tidaklah banyak, hanya sekitar 1,5 sampai 2 juta. Sincan kemudian menimpali : Berarti kita mending muter film kita di televisi? Karena pasti ditonton orang yang lebih banyak?

Ternyata tidak, televisi adalah sebuah media yang hanya akan memperkenalkan kita dengan masyarakat. Untuk sebuah bisnis yang berhasil, film bioskop menjanjikan banyak hal lebih dibanding televisi

  1. Investor film bukan masjid atau gereja…..

Ini adalah sebuah pernyataan yang menarik. Setiap kali kita berhadapan dengan investor, pastilah hal yang pertama kali ditanyakan adalah tentang waktu pengembalian modal, berapa keuntungan yang bisa dihasilkan? Tidak mungkin investor akan melepas koceknya secara cuma2 seperti yang dilakukan masjid dan gereja ketika memberikan sumbangan kepada orang2 yang membutuhkan.

  1. Kompromi dengan diri sendiri

Hal ini biasanya paling sulit dilakukan, apalagi oleh teman2 yang pernah bergerak di jalur underground/independen. Memandang script/skenario dari kacamata penonton dan bukan dari pembuat tidaklah mudah. Mengikuti trend dan keinginan penontonpun demikian halnya.

  1. Under ground/independen

  1. Segmentasi penonton terbatas, biasanya kalangan komunitas film, pembuat film, pecinta karya sastra atau kelompok2 lainnya.

  2. Film bisa diperlakukan sebagai sarana ekspresi kegelisahan maupun sikap, namun juga bisa sebagai sarana sharing tentang suatu hal.

  3. Siap mengikuti tema maupun selera festival2 film yang berubah dalam kurun waktu tertentu.

Setelah selesai memaparkan beberapa hal di atas, saya agak tergelitik dengan pertanyaan yang muncul di benak saya, apakah ada seorang filmmaker indie yang bisa mendulang rejeki dari filmnya…?

Agung terdiam sejenak…..kemudian dia menjawab…TIDAK. Tidak kalo dari film indie. Namun terkadang ada filmmaker yang mempunyai usaha sampingan ataupun bergerak di industri dengan format yang berbeda, misal videoklip,iklan, dsb.

Ternyata film itu juga penuh dengan pilihan2 ya…?huuuuffff.

Saran terakhir dari Agung : Apapun yang kita pilih, hal terpenting adalah kita siap dengan konsekuensi2nya. Dan tidak ada yang salah dengan pilihan itu asal kita tidak melakukannya dengan setengah hati. SELAMAT MEMILIH……


By : Triyanto “Genthong”

Thanks to : Agung Sentausa


Jumat, 23 November 2007

Sekilas tentang media audio visual

Untuk memahami yang satu ini kita perlu tahu sedikit perkembangannya. Diawali dengan film bisu di era 1900an awal, pada waktu itu ekspresi dan gesture pemain menjadi bagian pokok yang sangat penting untuk mengungkapkan ekspresi karena belum adanya alat perekam suara. Film masa itu cenderung teaterikal karena belum adanya kesadaran memadai dari filmmaker terhadap kekuatan audio visual, serta belum terbiasanya penonton melihat film. Penonton pada saat itu masih terbiasa melihat opera di panggung maupun teater, sehingga bloking pemain film yang diciptakan biasanya masih mengacu pada bloking teater. Selain itu ilustrasi musik masih menggunakan live show, jadi pada saat film itu diputar, seorang pemain piano atau beberapa musisi akan bermmain alat musik sembari melihat film tersebut. Film Indonesia yang pertama kali dibuat adalah LOETOENG KASAROENG (1926).

Demikianlah dan seterusnya sampai film memasuki era teknologi saat ini. Seolah-olah tak ada lagi yang tak mungkin dibuat oleh seorang filmmaker. Mulai dari Star Warsnya George Lucas sampai era LOTRnya Peter Jackson. Imajinasi seorang pembuat film saat ini tak akan dibatasi lagi oleh teknologi. Penciptaan bloking dan gesture pemain terasa lebih bebas karena saat ini tak ada lagi peraturan baku dalam pembuatan film. Kita mengenal jenis film independen, dimana ide dan biaya merupakan tanggung jawab filmmaker dan tak ada batasan segmentasi pasar.

Televisi, sebuah sarana penyampaian pesan yang saat ini menjadi primadona masyarakat umum. Di rumah-rumah, televisi telah menjadi Second God. Remote berfungsi menjadi sarana pembunuhan bagi stasiun televisi. Ketika seseorang tak mau untuk melihat sebuah stasiun TV dia hanya tinggal pencet, dan matilah stasiun TV itu karena ditinggalkan salah satu penontonnya. Bayangkan apabila itu dilakukan oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan penonton di Indonesia. Berapa pendapatan stasiun TV itu yang hilang?

Media audio visual juga memiliki keterbatasan. Yang pertama dan paling dasar adalah televisi maupun film hanya 2 dimensi, yaitu panjang dan lebar. Disinilah fungsi estetika dan teknis seorang filmmaker dituntut untuk berfungsi maksimal agar dapat menciptakan kesan 3 dimensi pada media ini. Mulai dari seorang Director of Photography, Lighting, penciptaan bloking, art, biasanya akan berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan kesan 3 dimensi tersebut, baik menggunakan teknik perspektif, kedalaman dan sebagainya. Keterbatasan kedua adalah image. Sebuah film yang diangkat dari novel yang terkenal dan telah mengena di hati pembacanya akan mempunyai tugas sangat berat untuk menciptakan image film seperti yang dibayangkan oleh seorang pembaca novel. Pada buku novel kita mempunyai imajinasi yang sangat bebas dalam menciptakan wajah, anatomi, environment seorang tokoh. Mungkin sosok Harry Potternya JK Rowlings, antara bayangan anda dan saya akan berbeda. Suasana sekolah sihir anda dan saya juga berbeda. Ada salah satu contoh lagi; waktu saya masih SD di medio thn 80an, ada sebuah drama radio yang sangat terkenal, hampir semua radio di Yogya ini pasti menyiarkannya, judulnya adalah SAUR SEPUH dengan tokoh utama bernama Brahma Kumbara. Saat saya mendengarkan drama itu dan terjadi adegan peperangan, secara reflek saya menciptakan adegan itu dalam kepala saya. Begitu terkenalnya drama radio tersebut, sehingga sponsor cerita tersebut, sebuah pabrik obat PT KALBE FARMA memutuskan untuk membuat film layar lebarnya. Namun apa yang terjadi ketika saya menonton film tersebut? Saya kecewa, karena sosok Brahma Kumbara dan suasana kerajaannya tak sesuai seperti yang saya bayangkan waktu mendengarkan drama radionya, sekuel film itu tak selaris film pertama. Namun berbeda halnya dan jamannya ketika Harry Potter diangkat ke layar lebar, proses penciptaan image Harry Potter dan suasananya mungkin sangat mendekati imajinasi penonton sehingga sekuelnya pun tetap laris manis. Keberhasilan tersebut tentunya tak lepas dari peran teknologi walaupun membutuhkan dana yang tak sedikit. Rumor yang beredar, untuk membuat film sekelas Harry Potter dibutuhkan dana yang sama besarnya dengan APBN Indonesia selama 1 tahun.
by : Triyanto 'Genthong'

SUNDEL BOLONG VERSUS GET MARRIED

Confuse….:”$#$%
Itu hal yang pertama kali terbersit di benak saya ketika melihat dua film itu…..satu sutradara dengan tim yang hampir sama namun menghasilkan film yang berbeda. Perbedaannya terletak pada kualitas, alur cerita, tematik, sinematografi….



SUNDEL BOLONG
Film ini dikerjakan dengan kamera HDV Sony Z1 dan di blow up ke 35 mm. Banyak sekali gambar yang terlihat dipaksakan.Industrialisasi sinema telah menyeret film ini pada bentuk nyata dari industri film kita. Dengan dana yang agak rendah tim Sunbol mencoba merekonstruksi imajinasi dan legenda Sunbol yang telah terkenal.
Kalo disuruh memilih dari sisi suspense, saya lebih memilih Sunbol versi Suzanna yang populer sekitar tahun 80an. Tidak ada hal yang lebih dari film ini. Hanya satu hal yang menjadi lebih di film ini….lebih buruk.

Dari sisi alur cerita…..
Banyak scene2 kebetulan yang terjadi di film ini. Tdk ada impact apapun yang sampai ke penonton dengan alur sunbol, kecuali suspense2 minor di tengah film. Klimaks? No way…ndak ada. Bahkan teman saya di sebelah sudah mulai boring di menit 20 dan akhirnya dia tertidur saat film menapak di menit ke 40 an….hahaha, bayar mahal cuma buat numpang tidur….mending di rumah aja kaleee….


Dari sisi penyutradaraan…..
Sebelumnya saya mohon maaf dulu pada mas Hanung seandainya tulisan saya ini mungkin agak keras….tapi rapopo yo dab, demi film Indonesia,hehehe….maaf,apologi orang awam…
Pola penuturan sinematik di film ini terasa hambar…korelasi antar shot terkadang justru menurunkan ketegangan yang coba dibangun sejak awal. Tdk banyak alasan kuat dalam menciptakan shot2 di film ini (ngoyak setoran dab?). Pola pengadeganan juga terasa campur aduk ya…(bener ra dab?). Gaya yang dicampur tentunya sedikit banyak akan membingungkan penonton, antara pola bloking teaterikal dan realis, moving dan gesture pun juga demikian. Tapi saya terus terang salut dengan mas HB yang berani menurunkan idealismenya….two thumbs up!


Dari sisi visual….
Inilah sbenarnya alasan saya untuk menonton film ini. Mencoba belajar dari Bang Pa’o bagaimana setting kamera Z1 untuk di blow up ke 35 mm.Tapi…yah emang susah Z1 nih…terutama dari sisi fokus. Banyak gambar yang out focus (gak tahu dari kamera yang mana ya…?yang dipegang Mas Hanung kali). Karena dari behind the scene yang diputar di Indosiar saya melihat mas HB mengoperasikan sendiri kameranya (2nd kamera). Saya gak tahu apakah Bang Pa’o dah pake expanded focus untuk last check fokus di Z1. Dan kayaknya saya mendapat pelajaran baik dari film ini, setting sharpness di Z1 yang berlebih akan menghasilkan gambar corel dan edge yang terlalu tajam setelah di blow up ke 35 mm. Kayaknya bang Pa’o ngeset sharpness Z1 nya di atas 10 ya…?mudah2an saya salah bang…
Dan beberapa shot yang kayaknya rec nya pake 25p ya..?karena ada gerakan2 pemain yang nampak staccato….atau jerky gitu…
Lighting…?hmmm..sebetulnya saya agak bingung di point ini karena cahaya yang dihasilkan bercampur lagi antara realis dan pictorial. Ada beberapa point yang agak lepas dari sisi tata cahaya. Saya sendiri agak terganggu dengan timbulnya bayangan lampu teplok ke dinding. Sebetulnya sumber cahaya kan lampu dinding itu kan…?tapi kenapa dia sendiri menciptakan bayangannya sendiri…?tapi emang susah, karena prinsipnya lights create shadow. Coba kita lihat gambar di bawah ini





CUPLIKAN SHOT DARI FILM MALENA


Kita perhatikan dengan seksama…apakah ada bayangan batang lilin yang jatuh di tempat lilin…?kayaknya gak ada ya…Padahal kita tahu dan yakin lighting di belakang patung itu sangat berjibun…hehe. Dan kita lihat juga pipi kiri anak itu lebih terang karena lebih dekat dengan lilin. Ini yang saya maksud dengan penataan cahaya realis.
Coba kita lihat lagi gambar yang lain dari film Malena berikut ini :




Perhatikan lampu meja…dia hanya membuat bayangan dari tempat buah ke atas meja. Asumsi saya, shot di atas memakai kurang lebih menggunakan 6-8 lampu untuk menghasilkan tata cahaya low key yang almost perfect ini. Tapi emang tantangan yang cukup berat dari kamera video adalah kontras rasio yang tinggi sehingga penciptaan tata cahaya pun juga lebih rumit, kita akan banyak pake gobo maupun cutter flag untuk menghilangkan atau minimal mengurangi bayangan yang muncul.
Kembali ke laptop…..
Sudut pengambilan gambar dan trik kamera serta visual effect juga terasa tanggung di film sunbol…..
Hahaha….saya tertawa ketika melihat ada antena UHF yang bocor masuk ke kamera di film ini yang bersetting tahun 50an kalo gak salah….
Gubraaak….color gradingnya….color correctionnya….ada yang hijau, coklat…warna-warni. pelangi2 ciptaan Tuhan..hehehe


Dari sisi sound……
Yah…ini lagi…salah satu elemen kunci dari produksi film yang terkadang menjadi anak tiri…gak banyak orang yang tertarik untuk menjadi soundman, hingga kalo kita lihat di beberapa film besar, soundman yang ikut produksi cuman itu2 aja. Sebetulnya job sebagai soundman masih terbuka lebar di Indonesia, tapi yang berminat…?
Noise…noise…and noise lagi. Film sunbol ini penuh dengan hal itu. Penggunaaan kompresi dan noise gate yang terlalu kuat menjadikan sound di film ini banyak terpotong frekuensi tingginya. Continuity equalisasi juga kurang terjaga sehingga menghasilkan low n hi freq yang tdk rata. Continuity atmosfir juga naik turun….


Konklusi…
Anda mau melihat satu sisi wajah film Indonesia…?silakan nonton film ini…Tapi saya punya keyakinan penonton film yang berjumlah 2 juta di Indonesia ini tidak akan terganggu dengan hal-hal yang sudah saya tuliskan seabreg-abreg ini…Bravo penonton Indonesia…!!!

GET MARRIED
Saya salut dengan film ini….secara kualitas jauh di atas sunbol….
Tidak banyak komentar untuk film ini..
Cuma coloring aja…ada beberapa shot yang terlalu greenish. Dan buat mas HB: hehehe….beliau banyak mengadopsi gaya komedi Jogja lama di implementasikan ke kultur metropolis….okeh dagelan lawas dab….Tapi pas saya nonton, masih banyak penonton yang tertawa-tawa…sukses…Tapi saya ndak tahu kalo komedi ini diputer di hadapan mas Marwoto, bu Yati Pesek, Kelik PLO, Benny Kuncung, Bambang Gundul, Eko Bebek…paling mereka cuma komentar: wis tauuuuu…..hehehe.
Bravo untuk film ini….saya sedang nunggu film Ayat-ayat Cinta….

by Triyanto 'Genthong'

Salam.......



Blog ini kami buat sebagai sarana komunikasi & sharing terhadap permasalahan dalam produksi film, media komunikasi pada umumnya, bahkan tulisan yang berupa pertanyaan seputar produksi film dan segala macam pernak-perniknya…..
Seperti kita sudah kita ketahui, film saat ini telah buah bibir dimana-mana. Mulai dari kalangan masyarakat bawah, menengah, maupun kelas atas. Dari film di televisi sampai di bioskop kesayangan kita.
Mudah-mudahan kehadiran kami bisa menjadi teman dalam sharing produksi media audio visual…..