Kamis, 06 Desember 2007

FILM INDIE : ANTARA RUANG DAN UANG

Kali ini tak perlu memperdebatkan lagi apa itu film indie. Setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri. Relatif atau subyektif? Gak tau deh. Mungkin kamu lebih tau. Yang mungkin agak genit kata-kata antara ruang dan uang. Sama-sama dibutuhkan. Sama-sama menggoda. Dan percaya atau nggak kadang bagi para pembuat film indie mereka gak punya dua-duanya. Kita gak perlu terlalu jauh untuk ngomong soal perfilman indie tanah air atau bahkan Perfilman nasional, cukup di Jogja aja. Dahulu orang bilang kalo Jogja adalah Indonesia kecil. Ya…dahulu. Kini Jogja mungkin gak lebih dari sebuah replika kecil kota Jakarta. Makin hari makin semrawut. Makin macet. Lepas dari dari Jakarta adalah sentralisasi industri dan pemerintahan. Jogja juga dikenal sebagai kota budaya. Mmm…itu mungkin juga dahulu ya.

Kembali ke laptop, dalam setahun produksi film indie di Jogja tidak bisa dibilang sedikit. Meski ampe detik ini belum nemu data pastinya, tapi berdasarkan gosip dan cerita teman-teman komunitas film indie di Jogja, rata-rata tiap kelompok memproduksi hingga dua film tiap tahunnya. Kalau sekarang di Jogja ada kurang lebih lima puluhan komunitas, berati dalam setahun kota ini memiliki seratus judul film. Cukup banyak bukan? Yang jadi pertanyaan selanjutnya, kemanakah film-film itu? Dikirim ke festival-festival film? Hanya diputar di kampus atau komunitasnya sendiri? Belum di edit karena gak punya dana lagi? Atau hanya mangkrak di rak-rak kayu kamar dan terselip diantara beberapa buku-buku ciklit? Meski belum ada penelitian ke arah sana, yang jelas udah jadi rahasia umum kalo film-film itu gak lebih dari alat pemuas masturbasi. Ups, gak bermaksud menyinggung dan sok pinter, tapi kenyataannya seperti itu. Namun beberapa diantaranya cukup sukses dan ikut mengharumkan nama kota ini. Komunitas Four Color (gak tau sekarang masih bisa di bilang komunitas atau sudah menjadi sebuah rumah produksi besar) terbilang salah satu yang pertama mendobrak stigma ini. Memberikan warna tersendiri bagi perfilman Jogja, bahkan tanah air. Sebagai hasil dari kerja kerasnya, mereka diganjar piala FFI tahun 2006 lewat film “Harap Tenang Ada Ujian” besutan sutradara Ifa Isfansah. Masih ada beberapa nama lagi yang ikut andil dalam memajukan perkembangan film di Jogja. Tapi gak banyak. Sedikit menyentil lagi kemanakah film-film yang lainnya?

Balik lagi ke judul tulisan ini, antara ruang dan uang. Sebuah masalah klise yang mungkin gak akan pernah ada ujungnya jika tidak ada yang mau peduli. Banyak dari para pembuat film indie mengeluhkan soal ruang. Dalam hal ini yang utama adalah soal ruang pemutaran, disamping banyak ruang yang mereka tuntut, seperti ruang media apresiasi dan ruang untuk berkumpul untuk saling berbagi cerita dan pengalaman bagi sesama pembuat dan penikmat. Berapa banyak sih ruang pemutaran untuk film indie? Sedikit sekali kalau mau tidak dibilang sebenarnya tidak ada. Karena memang tidak satu ruang khusus yang disediakan untuk memutar film-film indie ini oleh pemerintah. Dalam hal ini dewan kebudayaan lebih bertanggung jawab. Bukan berarti menyalahkan pemerintah lagi, tapi bukannya sudah menjadi kewajiban mereka merespon setiap aspirasi masyarakat. Apalagi ini sangat positif. Katanya Jogja diklaim sebagai kota budaya.
Ada dua ruang publik yang mungkin cukup dikenal, yaitu benteng Vredeburg dan Taman Budaya Yogyakarta. Tapi apakah memadai untuk dipakai ruang pemutan film? Taman Budaya mungkin iya. Namun apakah kocek teman-teman pembuat film indie memadai untuk diputar disana? Dengar-dengar sih mereka mempunyai program untuk memutar film-film indie, namun ya itu, statusnya masih terdengar.
Kemunculan kantung-kantung film lainnya ikut meramaikan suasana. Sebut saja Kinoki, dengan slogannya bukan bioskop bukan kafe. Terus apa dong? Kinoki di kenal cukup intens memutar film-film non mainstream dan film indie. Tempat ini kadang jadi tempat mangkalnya beberapa komunitas yang mengklaim dirinya sebagi sineas muda. Cukup banyak sineas muda dan karya yang muncul dari tempat ini. Namun balik lagi ke soal memadai. Apakah Kinoki sudah memadai sebagai tempat pemutaran film indie? Mengingat kalau boleh dibilang sebenarnya tempatnya open air, walhasil banyak suara bising yang sangat mengganggu ketika menonton film di sana. Mulai dari suara kendaraan, karena dekat dengan jalan utama, ataupun suara dari musik bercampur suara “mengengkrik” pelanggan dari kafe disebelahnya. Apalagi kalo hujan. Bukannya kalau nonton film kita harus berkonsentrasi dengan gambar dan suara yang dihasilkan? Terus kalo nonton film indie yang enak dimana dong? Mungkin di Lembaga Indonesia Perancis (LIP). Karena tempatnya lumayan memadai dari beberapa tempat yang disebutkan diatas. Baik secara kualitas maupun secara pendanaan. Tempatnya lebih layak dan lebih murah sewanya. Bahkan katanya bisa gratis. Tiba-tiba ada pertanyaan di kepala saya, kenapa pihak luar lebih respek dengan hal ini dibandingkan pihak kita sendiri? Saya gak menyinggung soal pemerintah lho. Tapi pihak kita. Dari beberapa kasus diatas, banyak para pembuat film akhirnya melarikan filmnya ke kampus-kampus. Meski bisa dikatakan belum/tidak layak, paling gak soal dana masih bisa kongkalikonglah dengan pihak universitas.

Para pembuat film indie juga sangat kesulitan di soal uang. Yah klasik. Saya pernah baca di sebuah buku bahwa sangat bodoh sekali bila kita kesulitan produksi film hanya karena uang. Itu menurut si penulis buku itu. Bagi saya mungkin lebih bodoh lagi kalau kita produksi film gak mikir uangnya darimana. Biaya produksinya mau dibayar pake daun?
Ada banyak cara bagi para pembuat film indie untuk menyiasatinya, seperti kolekan uang tiap orang yang terlibat, gadai motor (kata anak nongkrong MTV : gw banget!) bahkan harus “ngemis” kebeberapa donatur. Tapi apa masih cukup untuk biaya produksi? Tergantung. Yup, tergantung mau produksi film apa. Kalau film action, mungkin lebih besar. Tapi nyatanya film saya yang bergenre drama, hanya satu setting dan hanya ada dua pemain menghabiskan dana kurang lebih dua belas juta. Dan sampai sekarang masih harus menyicil utang. Bisa jadi itu karena alat yang pakai sangat banyak dan jumlah crew yang mencapai tiga puluh orang. Kata teman saya itu jumlah uang yang sangat banyak sekali untuk produksi film indie di Jogja. Tapi kalau teman yang ada di Jakarta bilang, itu adalah hal yang hebat, karena biaya produksinya murah sekali. Nah lo??!!!

Mulut ini terlalu cerewet atau otak ini yang emang suka usil, yang jelas ada satu pertanyaan yang mengganjal. Apakah pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini yang harusnya ikut bertanggung jawab (saya gak nyebut pemerintah lho) diam saja. Maksudnya, apakah tidak ada dana bantuan, hibah, pinjaman lunak atau beasiswa bagi para pembuat film? Setidaknya buat nyewa kamera yang standar aja. Mungkin tidak ada. Saya pernah ngobrol dengan seseorang yang cukup dikenal dikalangan seniman dan pemerintahan, apakah pihak yang terkait/yang bertanggung jawab, yang biasa dikenal dengan dewan kebudayaan punya dana untuk itu? Jawabnya tidak. Mungkin karena dananya sudah habis, atau mungkin untuk menumbuhkan semangat kemandirian para pembuat film indie atau bahkan mereka sebenarnya memang gak pernah kepikiran untuk hal ini? Mungkin. Bagi mereka mungkin gak ada untungnya membiayai atau memfasilitasi para pembuat film. Toh kota ini dibangun bukan cuma untuk bikin film aja kan. Ya sedih sekali dong. Mereka mungkin lupa bahwa sebuah film mampu merefleksikan budaya suatu negara. Kalo kata buku-buku, film bisa menjadi benteng budaya negara dari arus budaya-budaya asing. Atau percaya gak sih kalo film bisa menjadi salah satu pencegah kerusakan alam, ikut andil dalam global warming?

Kadang masalah uang inilah yang ikut menjadikan film-film indie Jogja tidak berkembang atau kalo boleh dibilang tidak punya standar sinematografi. Gimana mau menghasilkan gambar bagus, kalo gak bisa sewa kamera dan lampu yang standar. Atau mau suara yang dihasilkan jernih tapi gak punya uang untuk nyewa boom mic dan mixer audio. Sama aja boong dong. Yah..sebenarnya bisa sih, tapi ya gak maksimal. Terus kapan dong bisa bikin film yang maksimal? Yang ada sih semaksimal yang bisa kita lakukan dengan alat yang ada. Bukan sesuai dengan standard operational procedure. Kalo gak percaya buktikan aja, kita sih udah. Hal ini yang kadang bikin film-film indie terkesan asal-asalan. Atau karena stigma yang ada kalo film indie ya film yang asal jadi, yang penting ada kamera, angle shotnya aneh-aneh dan ceritanya nyeleneh? karena paling banter juga ditonton ma temen-temen sendiri. Kalo maunya seperti itu ya siap-siap aja beli sabun yang banyak.

Kata ruang dan uang mungkin dibedakan dari konsonan huruf “R”. Dua kata ini punya arti yang sangat berbeda tapi saling berhubungan. Ada ruang berati harus ada uang. Ada uang pasti butuh ruang. Huruf “R” juga bisa bermakna restricted (terbatas). Biasanya tanda ini berada dalam film-film yang banyak mengumbar adegan sadis dan vulgar, baik visual, bahasa maupun isi. Biasanya sih ada di film asing karena film Indonesia jarang sekali/hampir tidak ada yang mencantumkan tanda batasan ini. Dalam kaitannya dengan judul “Antara Ruang dan Uang” maksudnya huruf “R” bisa berarti film indie itu sangat “terbatas”. Bisa jadi penontonnya yang terbatas, karena biasanya hanya di tonton oleh para pembuat film, kritikus, penikmat film non mainstrem dan beberapa orang cukup militan di bidang seni. Bukan masyarakat umum. Bisa juga makna “terbatas” itu terbatas karena masalah dana untuk produksi. Karena umumnya film indie di Jogja dibikin dengan dana yang seminim mungkin. Atau bisa juga harusnya film indie itu memang diberi tanda “R”, karena tidak pernah ada sensor di film itu.

Yang jelas film indie terus bermunculan di kota ini, lepas dari berbagai persoalan yang ada. Semoga film indie di Jogja terus maju dan mulai menghilangkan stigma sebagai film yang “terbatasi”. Terbatasi karena karena ruang, terbatasi karena uang. Ada bahkan terbatasi dari segmentasi penonton, karena film indie hanya di cap sebagai film ecek-ecek. Dan bagi saya sendiri film indie adalah masalah “sikap”. Saya rela ketika film saya di cap sebagai film kelas divisi dua. Justru ini tantangannya. Bagaimana caranya harus bisa membawa film saya masuk ke divisi utama. Ini cuma masalah memilih dan menunggu*
( * diambil dari potongan film DIALOG )

Salut untuk semua pembuat film di tanah air.
Tidak bermaksud menjadi nabi-nabian dan dengan segala hormat,
Ariep Sinchan

Tidak ada komentar: